Assalamu 'Alaikum Gan., kali ini saya ingin sedikit berbagi dari apa yang telah saya ketahui. Kebetulan baru2 ini saya telah melakukan presentase mengenai Riba.
Okey gan, saya cuman mau berbagi pengetahuan bersama kalian, saya ngak mengharapkan sesuatu kecuali semoga ini bisa bermanfaat bagi kalian semua.
Langsung Saja Cekidot...,
Kata riba dari segi bahasa berarti
"kelebihan". Sehingga bila kita hanya berhenti kepada
arti "kelebihan" tersebut, logika
yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup
beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab
pertanyaan mereka dengan menyatakan
"Tuhan menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba" (QS 2:275), pengharaman dan
penghalalan tersebut tentunya tidak
dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang
membedakannya, dan "sesuatu"
itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Riba secara syariat merupakan penyerahan
pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain yang tidak dapat terlihat wujud
kesetaraannya menurut timbangan syara’ ketika aqad, atau disertai kelebihan
pada akhir proses tukar menukar, atau hanya salah satunya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang
sebanyak delapan kali, terdapat dalam
empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran,
Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama
adalah "Madaniyyah" (turun
setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum
adalah "Makiyyah" (turun sebelum
beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara
tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan
sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan
agar ia menambah kelebihan pads harts
manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi
Allah ...
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip
riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn
Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat
bahwa ayat yang terakhir turun kepada
Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam
rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir
tentang riba,167 yaitu ayat 278-281 surat
Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa riba, jika kamu orang-orang yang
beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,168 berdasarkan
beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim
dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i
serta orientalis Noldeke,
mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih
dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau
kesimpulan mereka diterima, maka berarti
ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas
melarang memakan riba secara berlipat
ganda, merupakan ayat kedua yang diterima
Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang
mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi
yang memakan riba merupakan wahyu tahap
ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-
Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi169 dan Al-Shabuni,170
tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang
riba sama dengan tahapan pembicaraan
tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap
pertama sekadar menggambarkan adanya unsur
negatif di dalamnya (Al-Rum: 39),
kemudian disusul dengan isyarat tentang
keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya
pada tahap ketiga, secara eksplisit,
dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali
'Imran: 130), dan pada tahap terakhir,
diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya
(Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan
tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak
mengemukakan suatu riwayat yang
mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa
mustahil mengetahui urutan turunnya ayat
tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih,
dan bahwa turunnya satu surat mendahului
surat yang lain tidak secara otomatis
menjadikan seluruh ayat pada surat yang
dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului
seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan
turun kemudian. Atas dasar pertimbangan
tersebut, kita cenderung untuk hanya
menetapkan dan membahas ayat pertama dan
terakhir menyangkut riba, kemudian
menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan
tahapan turunnya sebagai tahapan
pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam
memahami pengertian atau esensi riba
yang diharamkan Al-Quran, karena
sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161
merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi
yang melakukan praktek-praktek riba.
Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali
'Imran yang menggunakan redaksi larangan
secara tegas terhadap orang-orang Mukmin
agar tidak melakukan praktek riba secara
adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini,
baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun
tahapan ketiga, jelas sekali mendahului
turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam
saat yang sama turun setelah turunnya ayat
Al-Rum 39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan
ayat pertama yang berbicara tentang riba,
dinilai oleh para ulama Tafsir tidak
berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-
Qurthubi171 dan Ibn Al-'Arabi172 menamakan
riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai
riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya
riba mubah.173 Mereka semua merujuk kepada
sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan
beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam
ayat tersebut sebagai "hadiah"
yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan
imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam
ayat Al-Rum di atas dengan kata riba pada
ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam
Al-Burhan174 menafsirkan sebab perbedaan
penulisannya dalam mush-haf, yakni kata
riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa
menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan
dalam surat-surat lainnya menggunakannya
[huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha
menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang
diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat
Ali' Imran 131.175
Kalau demikian, pembahasan secara singkat
tentang riba yang diharamkan Al-Quran
dapat dikemukakan dengan menganalisis
kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan Al-
Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan
memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat
tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah;
(b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu
amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut,
diharapkan dapat ditemukan jawaban
tentang riba yang diharamkan Al-Quran.
Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang
menjadikan kelebihan tersebut haram".
Dan macam-macam riba adalah sebagai
berikut :
Ø
Riba
Qardh, merupakan suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtaridh)
Ø
Riba
Jahiliyyah, merupakan hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam
tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Ø
Riba
Fadhl, merupakan pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi.
Ø
Riba
Nasi’ah, merupakan penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dengan yang diserahkan kemudian.
Koperasi, sahabat mungkin sudah tahu seperti apa
koperasi pada masa sekarang. Yang saya maksud adalah koperasi simpan pinjam.
Mereka menerapkan pinjaman dan memberikan bunga pada saat pembayarannya,
terlebih mereka juga menerapkan riba jahiliyyah.
Bank Konvensional, sahabat sudah tidak asing lagi dengan
yang namanya bank. Bahkan diantara kita mungkin memiliki rekening bank lebih
dari satu. Kalau untuk bank sudah sangat jelas kinerjanya seperti apa, kita
bisa membuka websitenya langsung dan bisa mengetahui seperti apa kinerja bank,
contohnya, pinjaman seperti koperasi, pinjaman untuk pengusaha/usaha kecil,
deposito, dll masih banyak lagi.
Asuransi, menurut saya asuransi masih mengandung
unsur riba. Kalau ada yang tahu ada asuransi tidak mengandung riba tolong
beritahu saya ya, karena keterbatasan informasi yang saya miliki. Kenapa saya
menganggap asuransi itu riba ? mungkin kita biasa memberikan uang secara
berkala sebagai jaminan kehidupan kita di masa mendatang, misal : pendidikan,
masa tua (pensiun), kesehatan, dll. Tahukah seperti apa kinerja asuransi dalam
memanfaatkan uang yang mereka kumpulkan dari pembayaran kita secara berkala
kepada mereka ? salah satunya investasi, deposito, dll masih banyak lagi.
Tergantung dari pimpinan asuransi mau mengalokasikan dananya kemana. Tidak
mungkin uang asuransi yang kita bayarkan setiap bulan itu didiamkan begitu saja
oleh mereka, itu fikiran logist dari saya.
Saran dari saya segera sucikan harta yang
tadinya dari bank dengan memberikannya kepada pihak yang membutuhkan, tetapi
bukan dengan niat sodaqoh, hanya niat untuk mensucikan harta dan bertaubat
karena Allah SWT, insya Allah kita bisa mendapat rahmat dari rejeki yang
diberikan Allah kepada kita. Karena pemakan riba akan dijadikan oleh Allah SWT
apa-apa yang sebelumnya halal menjadi haram baginya. Memang sulit dan sangat
sulit, apalagi kalau tingkat kecintaan dunia kita lebih tinggi dari pada Allah
SWT dan Rosulnya, itu sangat sulit....mungkin banyak diantara sahabat yang
mengalaminya.
Hidup dijaman sekarang ini memang sulit,
sekalipun kita sudah terlepas dari riba...masih saja debu-debu riba menyelimuti
kita yang sewaktu-waktu bisa menjadi boomerang kita kepada murka Allah SWT.
Karena pada ajaran sebelum Nabi Muhammad SAW, riba ini sudah sangat dilarang.
Dan umat muslim tidak boleh mengucapkan “mencari harta haram saja sulit apalagi
mencari harta halal”. Sungguh kata-kata itu bisa mendatangkan murka Allah SWT
kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar