Senin, 29 Juli 2013

Aku Ujian Bagimu, dan Kamu Ujian Bagiku


AsSalaamu 'alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.,

Kali ini saya ingin berbagi sedikit artikel dari seseorang yang Insya Allah banyak Manfaat yang bisa kita peroleh...,
Langsung saja Gan...,


Diangkat dari sebuah kisah nyata, tentang seorang lelaki shalih dan perempuan shalihah, atau lebih tepatnya.. tentang kedua insan manusia yang selalu berupaya untuk selalu mendekat kepada Allah Subhanahu Wata’alla.


Lelaki tersebut bernama Putra, dan perempuan tersebut bernama Adinda. Tentu saja bukan nama sebenarnya. Tapi yang pasti, ini adalah kisah nyata. Benar-benar terjadi.

***

Putra adalah seorang lelaki yang dibekali Allah pengalaman hidup yang tidak biasa. Masa mudanya sempat diwarnai oleh berbagai macam pilihan kehidupan yang tidak tepat, yang kemudian menghantarkannya kepada sebuah jurang. Tapi ternyata, itu merupakan jurang yang sangat disyukuri. Adanya jurang kehidupan tersebut membentuk seorang Putra menjadi sosok yang semakin mendekat kepada Allah. Mentalnya ditempa, tanggung jawabnya diuji. Hantaman keras masa lalunya menggerakkan seorang Putra untuk menyebarkan ilmu bagi banyak orang agar tidak terjerumus dalam kesalahan seperti yang pernah ia lakukan. Allah karuniakan pula kemampuan yang sangat luar biasa yang mendukung semangat Putra dalam meniti langkah baiknya. Putra menyadari, segala alur kehidupannya, diarahkan oleh Allah dengan berbagai maksud dan tujuan. Jadilah Putra sosok lelaki yang sangat mencintai Allah.

Adinda adalah seorang perempuan yang memiliki kisah hidup yang juga tidak biasa. Adinda tumbuh dalam lingkaran terdekat yang tidak begitu harmonis. Sejak kecil, Adinda mencari nilai-nilai kehidupan dari luar rumah. Tapi sungguh Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah anugerahkan Adinda berbagai macam kemampuan hebat yang mengundang decak kagum banyak orang, dipadu dengan lingkungan luar tempatnya bertumbuh yang sangat mendukung. Allah hadirkan berbagai kesulitan dalam kehidupan Adinda, untuk membuatnya semakin kuat, semuda mungkin. Adinda dicoba dengan berbagai macam hambatan yang sebetulnya sangat sulit bagi perempuan seusianya, tapi justru itulah yang membuatnya menjadi sangat matang dibandingkan perempuan lain seusianya. Adinda memahami, ada peran besar Allah dalam kehidupannya. Jadilah Adinda sosok perempuan yang sangat mencintai Allah

***

Selama beberapa tahun ke belakang, Putra dan Adinda adalah partner yang sangat baik. Mereka memiliki passion yang sama yang akhirnya membuat mereka seringkali dipertemukan dalam berbagai kegiatan dan project yang serupa.

Tahun demi tahun berlalu, pertemuan menjadi suatu hal yang biasa. Langkah baik Putra, didukung oleh kemampuan Adinda. Adinda pun banyak sekali menimba ilmu dari Putra. Akhirnya mereka pun tumbuh bersama, sama-sama melesatkan diri dalam kebaikan. Saling mendukung satu sama lain. Tapi itu sudah menjadi hal biasa, saking seringnya. Kehidupan Putra dan kehidupan Adinda pun dijalankan masing-masing, tidak ada hal yang spesial.

Sampai tiba suatu ketika, Putra dan Adinda merasakan getaran yang tidak biasa, entah darimana datangnya, dan entah kapan tepatnya. Keterbiasaan mereka melakukan komunikasi, membuat Putra merasa ‘terisi’ oleh Adinda. Kenyamanan yang ditimbulkan pun membentuk sebuah kebiasaan, yaitu kebiasaan mencari ketika Adinda tidak berada di sekelilingnya. Putra belum menyadari, apakah yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya.

Di sisi yang lain, Adinda yang sudah banyak menimba ilmu dari Putra tidak pernah merasa harus waspada, sebab sudah bertahun-tahun ia tumbuh dan belajar banyak dari seorang Putra. Kalau soal ‘terisi’, Adinda sudah merasakannya jauh lebih lama dari Putra merasakannya. Hanya saja memang tidak ada yang spesial, sebab saking seringnya itu. Tapi kali ini lain. Adinda pun merasakan ada getaran yang tidak biasa. Perbedaannya, Adinda acuh. Sebab Adinda tahu bahwa Putra tidak mungkin melewati batas hubungan. Adinda belajar ilmu menjaga diri juga dari seorang Putra.

Semakin hari, tanpa disadari, komunikasi yang dilakukan semakin sering membawa mereka pada penguatan perasaan. Kekaguman yang memang sudah ada sejak dulu, semakin besar. Pengetahuan mereka tentang kondisi kehidupan satu sama lain pun semakin mendalam. Ini lahan nikmat bagi syaitan menggoda antara dua insan manusia, maka terhembuslah sebuah perasaan bernama.. cinta.

Putra yang shalih sangat memahami ilmu tentang cinta yang belum halal. Adinda yang shalihah pun sangat meyakini ilmu tentang penjagaan diri sebelum ijab sah menggema. Tapi cinta ini hembusannya halus, menelusup ke dalam hati, tanpa disadari. Tau-tau mereka sudah mulai merasa saling ketergantungan, hingga takut kehilangan, meskipun tidak diikrarkan menjalin hubungan seperti pacaran. Doa-doa yang terpanjat pun mulai tidak lurus.

“Ya Allah.. bila ada kebaikan saat kami berjodoh, maka mudahkanlah. Jika lebih banyak mudharat-nya, maka jauhkanlah. Hm.. tapi ya semoga lebih banyak kebaikannya, jadi dia bisa jadi jodohku..”

Hehehe. Semakin dalam perasaannya, semakin sebuah doa tersebut mengatur ketentuan Allah. Padahal jelas-jelas manusia hanya diminta maksimal ikhtiar di jalan yang Allah ridhoi, sedangkan hasil suka-suka Allah.

“Ya Allah.. aku sangat yakin jika kami bersatu dalam pernikahan, kami pasti akan bertumbuh lebih melesat. Visualisasiku sangat jelas ya Allah. Pastilah aku pun akan lebih semangat melakukan ini dan itu dengan kehadirannya membersamai kehidupanku.. Please ya Allah..”

Cinta itu tidak buta, tapi melumpuhkan logika. Sosok shalih dan shalihah ini terperangkap dalam getaran rasa luar biasa yang menguji ketaatan. Sebetulnya mudah saja, Putra tinggal melangkah dengan niat baik, mengajak Adinda ke gerbang pernikahan. Itu sudah obat paling mujarab, yaitu menghalalkan rasa.

Putra berusaha, Adinda pun berusaha, tentu saja melalui cara yang sesuai dengan syari’at Allah. Mereka mau melakukan ta’aruf. Tapi sayang sekali dalam kisah mereka, niat baik Putra ini sudah diatur Allah untuk tidak bisa terlaksana. Maka dengan sebuah alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, Putra tidak bisa menikahi Adinda.

Sebetulnya Putra mengerti, begitu pun dengan Adinda. Mereka tidak bisa bersatu dalam pernikahan saat itu adalah sudah merupakan bagian dari rencana-Nya. Tapi akibat perasaan sudah terlampau dalam, keduanya sempat ‘jatuh’ dan ‘terguncang’. Sebab saya mendengar kisah ini dari sisi perempuannya, maka akan saya ungkap dari sisi seorang Adinda.

Setiap malam Adinda menangis. Ia sangat tahu bahwa itu berarti ia tidak ridho pada ketetapan Allah. Tapi emosi sangat tidak tertahankan. Ia paham, tangisan sedihnya ini adalah akibat perbuatannya sendiri. Ia mengizinkan cinta belum halal singgah ke hatinya, dan meski sudah paham.. ia tetap mengizinkan komunikasi ‘menjurus’ terjalin antara dia dengan Putra. Memang nikmat diperhatikan oleh orang yang kita sukai, tapi selama belum halal, syaitan mengambil peran. Disitulah lumpuhnya logika.

Harapan indah terlanjur menghiasi rongga-rongga mimpi Adinda, hingga ketika ia menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan, ia terhempas keras ke tanah. Adinda menyesali pelanggarannya terhadap syari’at Allah.

Sebetulnya, Adinda sudah beberapa kali tidak jadi menikah. Tapi ia tidak pernah merasa ‘terguncang’. Sebab selama ia berproses sebelumnya, ia berhasil membentengi dirinya untuk tidak mengizinkan cinta bermain-main di dalam hatinya. Ia betul-betul lurus mengikuti syari’at Allah. Akhirnya dulu, meskipun tidak sampai ke gerbang pernikahan, Adinda tetap bisa seperti biasa. Toh belum ada harapan apa-apa selain harapan kebaikan yang ia gantungkan kepada Allah. Tapi lain dengan kali ini. Adinda sangat terpukul.

Entah apa yang dirasakan Putra, bisa jadi sama, atau mungkin lebih kuat. Entahlah. Tapi yang pasti, Adinda selalu menghiasi malam-malamnya dengan duka. Beberapa kali ia menghalau, beberapa kali itu pula ia terjatuh. Adinda memahami bahwa ini merupakan bagian dari penguatan dirinya.

Ia kembali terseok mendekat pada Allah, sebab kemarin sempat terlupa. Bulir-bulir air mata malu menetes dalam setiap shalat malamnya. Tengadah kedua tangannya menjadi saksi pengakuan dosa yang membawanya pada akibat yang sulit dihempas. Rasa sakit berulang kali menghampiri hati apabila Adinda secara tak sengaja melihat Putra. Bagaimana tidak, mereka berada dalam satu lingkungan yang masih mengharuskan mereka untuk banyak terlibat kerjasama.

Beberapa minggu kemudian, Adinda banyak mendapat hikmah dan pembelajaran dari kisah kehidupannya tersebut. Semoga ini bisa menjadi cerminan bagi kita semua, khususnya bagi para muslimah yang sedang berupaya taat pada Allah. Bismillahirrahmanirrahim..

“Kami ini bukan orang-orang yang tidak paham. Kami adalah orang-orang yang justru sangat memahami tentang hakikat sebuah cinta, yang seharusnya hanya terjalin setelah ijab sah terucap. Putra dihadirkan ke dalam kehidupan saya untuk menjadi ujian bagi saya, saya pun dihadirkan dalam kehidupan putra untuk menjadi ujian baginya. Inilah ujian ketaatan yang Allah maksudkan. Saya menyesal telah melanggar ketentuan Allah, tapijuga bersyukur pernah mengalaminya. Sebab sekarang saya tau bagaimana rasa sakitnya, maka sulit rasanya bagi saya untuk mengulang kembali kesalahan tersebut. Jangan pernah coba-coba mengizinkan cinta sebelum datang kepastian halal. Ini bukan teori, sebab saya sudah praktek langsung. Saat ini saya masih belum pulih betul, masih sering tersedu. Tapi lebih banyak tersedu malu pada Allah. Sungguh saya bersyukur atas ampunan Allah yang amat luas. Meski tertatih, kini saya kembali mendekat pada-Nya. Semoga bisa jadi pembelajaran bagi kita semua..”

***

Menurut kabar terakhir, sekarang Adinda sudah lebih baik. Kehidupannya kembali normal dan pandangannya kembali positif. Rasanya tidak ada untungnya terus terpuruk. Kita terpuruk ataupun bersemangat, itu sama-sama tidak bisa mengubah keadaan yang sudah terjadi. Perbedaannya, terpuruk mengarahkan diri pada pemberhentian langkah maju, sedangkan semangat mengarahkan diri pada perubahan menuju perbaikan.

Sesungguhnya, tidak satupun orang dihadirkan Allah ke dalam kehidupan kita untuk menyakiti kita, melainkan untuk membuat kita lebih kuat. Dari sanalah kita akan mendapatkan banyak pembelajaran, yang mendewasakan. Memantapkan ayunan langkah menyambut tantangan kehidupan yang lebih besar.

--- “Kehadiranmu menguji ketaatanku, kehadiranku menguji keimananmu. Aku ujian bagimu, dan kamu ujian bagiku.” ---

Semoga bermanfaat...
Repost from : Febrianti Almeera